10 Hadits Palsu Seputar Bulan Ramadhan Bab 1

Berbagi 10 - Setelah jalan-jalan di dunia maya, saya sempat mendapatkan info terkait hadis-hadis dhaif seputar ramadhan yang secara otomatis saya pun berniat membagikan kembali info ini. saling mengembangkan tentunya hal yang baik untuk sesama. Betapa banyak hadis-hadis yang mengambarkan perihal keutamaan bulan ini. Diantaranya disebutkan bahwa bulan pahala menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya dan menyediakan kesempatan yang lebih banyak untuk menambah pahala dengan memperbanyak ibadah. Berangkat dari semangat ibadah itulah kemudian banyak orang yang ‘terpeleset’ ke dalam ibadah-ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah di bulan ini.

 yang secara otomatis saya pun berniat membagikan kembali info ini 10 Hadits Palsu Seputar Bulan Ramadhan Bagian 1

Hadits Palsu Seputar Bulan Ramadhan

Ada banyak hadis-hadis dhaif, bahkan palsu (maudhu’) yang awut-awutan seputar bulan Ramadhan. Abdullah al-Himadi, seorang sarjana hadis dari Emirat Arab, menghimpun ratusan hadis dha’if dalam kitabnya Tahdziru al-Khillan min Riwayati al-Ahadits al-Dha’ifah haula Ramadhan. Menurut penelitian ini, terdapat lebih dari seratus hadis dha’if dan maudhu’ (palsu) seputar bulan Ramadan. Ini memperlihatkan bahwa Ramadhan merupakan ‘surga empuk’ bagi beredarnya hadis-hadis palsu.

Dalam ilmu Mustalahul Hadis disebutkan bahwa di antara alasannya munculnya hadis-hadis dha’if ialah semangat ibadah yang terlalu tinggi, namun tidak diiringi oleh perilaku ke-hati-hati-an dalam melihat dalil-dalil agama. Subhi Salih (Ulumul Hadits wa Mustalahuh, 2009: 249) menyatakan bahwa banyak orang yang zuhud dan sufi di zaman dulu tak sanggup menahan nafsu untuk meniru hadis untuk kepentingan mendorong orang berbuat baik.

Di zaman kini kita sering kali pula menyaksikan para dai dan mubaligh, yang lantaran keterbatasan pengetahuan perihal kualitas dalil-dalil agama, juga terlibat dalam mempropagandakan hadis-hadis dha’if dan palsu tersebut. Padahal dalam Islam, semangat tinggi dan niat baik saja tidak cukup untuk beribadah, namun juga harus sesuai dengan tuntunan otentik yang dicontohkan Rasulullah Saw. (QS. 3: 31).

Definisi Hadis Sahih

Ibnu Salah (w. 643 H/1245), salah seorang ulama hadis masa pertengahan yang mempunyai banyak imbas di kalangan ulama hadis sezaman dan sesudahnya, telah memperlihatkan definisi atau pengertian hadis sahih sebagai berikut:

الْحَدِيْثُ الْمُسْنَدُ الذِي اِتَّصَلَ إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَابِطِ إِلَي مُنْتَهَاُه وَ لَا يَكُوْنُ شَاذًا وَلَا مُعَلَّّلاً

“Hadis yang bersambung sanad-nya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit hingga selesai sanad, tidak terdapat di dalamnya kejanggalan dan cacat” (Muqaddimah Ibnu Shalah, vol. I, hal. 1).

Terdapat lima unsur dalam kriteria hadis sahih. Pertama, sanad bersambung. Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis mendapatkan riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, hingga selesai sanad dari hadis itu. Kedua, periwayat bersifat adil. Diantara unsur adil di sini ialah sanggup dipercaya, tidak berbuat fasik, memelihara kehormatan dan tidak berbuar dosa besar.

Ketiga, periwayat bersifat dhabit, yaitu orang yang besar lengan berkuasa hafalannya perihal apa yang didengarnya dan bisa memberikan hafalannya itu kapan saja ia menghendakinya. Keempat, terhindar dari syaz, yaitu periwayatnya tidak terpecaya (tsiqat) atau matan dan sanad-nya bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang sama-sama terpercaya. Terhindar dari illat, yaitu alasannya yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis.

Pengertian hadis sahih yang telah disepakati oleh lebih banyak didominasi ulama hadis di atas telah meliputi sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabit ialah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari jangggal dan cacat, selain merupakan kriteria untuk sanad, juga berlaku untuk matan hadis (Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqdi fi Ulumil Hadis, 242-3). Karenanya, ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanad-nya sahih belum tentu matan-nya juga sahih.

Dengan mengacu pada unsur-unsur kaidah kesahihan hadis tersebut, maka ulama menilai bahwa hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan sebagai hadis sahih, yakni sahih sanad dan sahih matan-nya. Apabila sebagian unsur tidak terpenuhi, maka hadis yang bersangkutan bukanlah hadis sahih, alias hadis dha’if.

Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if

Para ulama setuju untuk menolak pengamalan hadis dhaif, terutama yang berkaitan dengan info perihal halal dan haram. Para hebat hadis bersikap tasyaddud (ketat dan keras) dalam hal tersebut, sehingga mereka hanya mendapatkan hadis yang paling tinggi derajatnya, atau yang disebut ‘sahih’. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa bahkan dalam duduk kasus istihbab (perbuatan yang dianggap sunnah) pun hadis dha’if tertolak. Dalam Majmu’atul Fatawa (vol. I, hal. 251), ia menyatakan:

وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ إِنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَجْعَلَ الشَىْءَ وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحَبًّا بِحَدِيْثٍ ضَعِيْفٍ وَمَنْ قَالَ هَذَا فَقَدْ خَالَفَ اْلإِجْمَاعَ

“Tidak seorang imampun yang membolehkan menyebabkan suatu perbuatan wajib ataupun sunnah dengan semata-mata hadis dha’if. Barang siapa yang menyampaikan hal itu, maka sungguh ia telah menyalahi ijmak ulama”.

Hal itu ditambah lagi bahwa dalam agama Islam terdapat sebuah kaedah mengenai pelaksanaan ibadah, yakni ia harus berdasarkan nash yang otentik, baik dari al-Quran maupun al-Sunnah. Rumusan kaedah tersebut berbunyi:

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّحْرِيْمُ وَ الَتْوقِيْفُ

“Pada dasarnya aturan ibadah ialah haram dan menunggu perintah”

Namun dalam duduk kasus keutamaan-keutamaan (fadhailu al-a’mal), terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Sebagian ulama menolak secara mutlak hadis-hadis dhaif yang terkait dengan keutamaan-keutamaan satu perbuatan. Pendapat ini dipegang oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Ibnul Arabi dan Ibnu Hibban (al-Hamadi, 2002: 37).

Sebagian menerimanya tanpa syarat apapun. Sebagian lagi mendapatkan hadis dhaif dengan tiga syarat, yaitu: pertama, hadis yang diriwayatkan itu tidak terlalu daif, kedua, isinya termasuk ke dalam prinsip umum yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Hadis sahih lain, dan ketiga, tidak bertentangan dengan dalil yang lebih besar lengan berkuasa (Subhi Salih, 2009: 197). Ada pula yang menambahkan syarat keempat dan kelima, yaitu tidak menisbahkan hadis tersebut kepada Rasulullah ketika mengamalkannya dan tidak mengandung info yang bertentangan dengan realitas empirik (Yusuf Qardlawi, Fatawa Mu'ashirah).

1. Do’a Memasuki Bulan Ramadan

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ : اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ

Artinya; “Dari Anas bin Malik, ia berkata, ialah Nabi Saw. apabila memasuki bulan Rajab, dia berdo’a, Ya Allah, karunialah kami keberkahan di bulan Rajab dan Sya’ban, dan karunialah kami keberkahan di bulan Ramadan”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (vol. V, no. 2387), Ibnu Abi Dunya dalam Fadhlu Ramadhan, Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bu al-Iman (vol. VIII, no. 3654), Abu Nu’aim dalam al-Hulliyah (vol. VI, no. 269), al-Bazzar dalam kitab Musnad (no 402) dan al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. IX, no. 4086). Dalam hadis ini terdapat dua tokoh yang lemah, yaitu Zaidah bin Abi Raqqad dan Ziyad bin Abdillah al-Numairi al-Bashri.

Menurut Bukhari dan Nasai (al-Dhu’afa wa al-Matrukin, vol. I, hal. 180) mereka ialah orang yang munkar al-hadist. Selain itu, hadis ini telah di-dhaif-kan oleh kritikus hadis terkemuka, di antaranya ialah al-Nawawi dalam kitab al-Adzkar (vol. I, no. 541), al-Dzahabi dalam Mizanu al-I’tidal (vol. II, hal. 65), Ibnu Hajar dalam Tahdzibu al-Tahdzib (vol. III, hal. 263), Ahmad Syakir dan Syu’aib Arnauth ketika men-tahqiq kitab Musnad imam Ahmad serta Nashiruddin Albani dalam Misykatul Mashabih (vol. I, hal. 306).

Do’a di atas sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat baik dan positif, lantaran ibarat dinyatakan Ibnu Rajab al-Hanbali (al-Manawi, Faidhul Qadir, vol. V, hal. 167) ia melambangkan impian seorang mukmin biar bisa mendapatkan kesempatan menambah amal salihnya. Di luar ibadah mahdlah, seorang muslim memang diperkenankan untuk mengucapkan do’a-do’a yang baik, bahkan dengan selain bahasa arab sekalipun. Inilah alasan mengapa para hebat hadis masih bersedia ‘meloloskannya’ dalam kitab hadis masing-masng.

Imam Ahmad pernah mengatakan: “idza jaa al-halal wa al-haram syaddadna fi al-asanid, wa idza jaa al-targhib wa al-tarhib tasahhalna fi al-asanid” (jika terdapat satu hadis mengenai halal dan haram, kami perketat penyeleksian sanad, dan bila terdapat satu hadis perihal tentang dorongan berbuat baik dan bahaya berbuat maksiat, kami mudahkan penyeleksian sanad) (dikutip dari Majmuatu al-Fatawa Ibnu Taimiyyah, vol. XIIX, hal. 65). Sehingga do’a di atas intinya tidak duduk kasus bila ingin diucapkan, dengan syarat tidak meyakininya sebagai sebuah hadis yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

2. Keutamaan Bulan Ramadan

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Sahih-nya (vol. III, no. 1887) dan al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3068). Hadis ini tercantum pula dalam kitab Fadlailu bulan pahala karya Ibnu Abi Dunya, al-Dlu’afa karya al-‘Uqaili dan al-Kamil karya Ibnu Adi. Mengenai statusnya, di dalam rantaian periwayatnya terdapat Sallam bin Sawar yang dinilai oleh para kritikus hadis sebagai orang yang dhaif (Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, hal. 441)) dan Maslamah bin al-Shalt, seorang perawi yang tidak dikenal (laysa bil ma’ruf) dan hadisnya tidak digunakan (matrukul hadis).

Menurut hebat hadis kontemporer, Nashiruddin Albani, hadis ini ialah hadis munkar (al-Silsilah al-Dlaifah, vol. IV, no. 1569). Hadis munkar ialah hadis di mana sanad-nya terdapat rawi yang pernah melaksanakan kesalahan yang parah, pelupa, atau ia seorang yang terang melaksanakan maksiat (fasiq).

Ke-dhaif-an hadis ini bisa pula ditinjau dari segi matan, dikarenakan telah membagi dan membatasi rahmat, maghfirah dan pembebasan neraka dari Allah pada waktu-waktu tertentu. Padahal tiga hal tersebut ada selama berlangsungnya Ramadhan. Konsekwensi dari ke-dhaif-annya, hadis ini tidak bisa dipakai, dikarenakan telah menyempitkan apa yang dibentuk luas oleh Allah. Para dai dan mubaligh sebaiknya tidak menyampaikannya, bahkan sebisa mungkin memperingatkan jamaah akan status dhaif dari hadis ini, baik secara matan ataupun sanad.

Sebagai alternatifnya, bisa disampaikan hadis-hadis lain yang mengambarkan keutamaan bulan Ramadan. Misalnya hadis:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ (رواه أحمد و البيهقي)

“Dari Abu Hurairah ia berkata, tatkala bulan pahala tiba, Rasulullah Saw. bersabda: telah tiba kepadamu bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan atas kau sekalian berpuasa di dalamnya. Selama bulan ini, pintu nirwana di buka, pintu neraka ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari pada seribu bulan. Barang siapa yang tidak mendapatkan kebaikan pada malam ini,maka ia tidak mendapatkan kebaikan Lailatul Qadr.

3. Do’a Berbuka Puasa

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Dari Mu’adz bin Zahrah, sebenarnya telah hingga kepadanya bahwa nabi Muhammad Saw. apabila berbuka, dia berdoa: “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (vol. VII/no. 2360), al-Baihaqi dalam al-Sunan (vol. II, no. 8392) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (vol. II, no. 9744). Di dalam hadis ini terdapat sosok Mu’adz bin Zahrah yang dipermasalahkan para kritikus hadis. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani (Tahdzibul Kamal, vol. XXIIX, hal. 122, Tahdzibut Tahdzib, vol. X, hal. 172) tabiin satu ini sering meriwayatkan hadis secara mursal (tidak menyebutkan perawi dari tingkatan sahabat).

Al-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 190), kitab yang menghimpun do’a-do’a, juga mengakui hadis ini mempunyai status mursal. Selain itu, Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad (vol. II, hal. 48) menilai hadis ini la yutsbat (tidak niscaya berasal dari nabi), al-Syaukani dalam Naylul Authar menilainya matruk (tidak digunakan). Menurut Albani dalam Irwaul Ghalil (vol. IV, hal. 38), hadis ini berstatus dha’if.

Sekalipun jalurnya banyak, hadis ini tidak bisa terangkat menjadi hasan ibarat yang dinyatakan dalam adagium ‘ya’dhadhu ba’dhahu ba’dhan’ (menguatkan satu sama lain), lantaran status dhaif-nya yang tingkat tinggi. Maka, dalam hal ini berlaku kaedah, katsaratu al-turuq la tadullu ‘ala sihhati al-hadist tamaman (banyaknya jalur periwayatan tidak memperlihatkan kesahihan hadis secara otomatis). Sebagai alternatif do’a yang bisa dipanjatkan ketika berbuka ialah doa berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : ذَهَبَ الظَّمأُ ، وابْتَلَّتِ العُرُوقُ ، وثَبَتَ الأجرُ إِن شاءَ اللهُ

Dari Abdullah bin Umar bin Khattab Ra. ia berkata, ialah Rasulullah Saw. apabila berbuka, dia berdo’a: “dzahab al-zhamau wa ibtalati al-uruqu wa tsabata al-ajru insya Allah” (telah hilanglah rasa dahaga, dan telah basahlah tenggorokan, dan tetaplah pahala, insya Allah). (HR. Abu Dawud, Nasai, Bazar, Dlaruqutni, Hakim dan Baihaqi)

4. Berbuka dengan Kurma

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَى مَاءٍ فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ

“Jika salah seorang di antara kau sekalian berbuka, hendaklah ia berbuka dengan kurma, bila ia tidak menemukannya, maka dengan air, lantaran sesungguhnya air itu suci”.

Hadis perihal berbuka puasa dengan kurma dengan redaksi yang melaporkan sabda nabi (sunnah qauliiyah) ibarat ini berdasarkan tiga orang kritikus hadis kontemporer, Muqbil bin Hadi, al-Hilali dan al-Albani (Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi, vol. II, 158, Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah, vol. IV, hal. 199) ialah hadis dha’if.

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad (no. 16655), Tirmidzi (no. 660), Ibnu Majah (no. 1699), al-Darimi (no. 1754) dalam Sunan mereka masing-masing, Ibnu Hiban dalam al-Sahih (no. 3584), Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 6196) dan Baihaqi dalam Sya’bul Iman (no. 3742) dan al-Nasai dalam al-Sunan al-Kubra (no. 3326).

Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh banyak penulis hadis (mukharrij), namun hanya mempunyai jalur tunggal, yaitu dari Hafshah binti Shirrin dari Rabab dari Salman bin Amir. Menurut al-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (vol. IV. Hal. 606) perempuan berjulukan Rabab dalam hadis ini ialah tokoh yang tidak diketahui (la tu’raf).

Hadis ini tidak mempunyai satu pun syahid (penguat dari hadis lain), kecuali satu hadis dari jalur sahabat Anas bin Malik yang ternyata di dalamnya juga terdapat illat (kecacatan), lantaran terdapat seorang perawi yang berjulukan Said bin Amir yang dinilai sering melaksanakan kesalahan (yukhti katsiran) (Albani, Irwaul Ghalil, vol. IV, hal. 50).

Sebagai alternatif dari ke-dha’if-an hadis qauli mengenai berbuka dengan kurma di atas, terdapat satu hadis fi’liy (sunnah fi’liyah), yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik. Hadis tersebut berbunyi :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Artinya: “Dari Anas bin Malik ia berkata, ialah “Rasulullah Sawbiasa berbuka dengan beberapa biji ruthab (kurma masak yang belum jadi tamr) sebelum shalat Maghrib; bila tidak ada beberapa biji ruthab, maka cukup beberap biji tamr (kurma kering); bila itu tidak ada juga, maka dia minum beberapa teguk air.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi)

Perbedaan redaksi dalam hadis, antara perintah (fi’lul amri) dan laporan sahabat mengenai perbuatan nabi, membawa implikasi sendiri dalam penetapan hukum. Dalam undangan fikih diterangkan bahwa hadis yang tiba dalam bentuk fi’lu al-amri bisa bermakna sunnah (yufidu al-sunnah) atau bahkan wajib (yufidu al-wujub). Hal tersebut berbeda dengan satu perbuatan yang dilakukan nabi kemudian diceritakan oleh sahabatnya (sunnah fi’liyyah).

Bisa saja perbuatan nabi yang dilaporkan dalam hadis tersebut terjadi hanya beberapa kali, dan selain itu, bisa pula tidak ada unsur ibadah di dalam perbuatan tersebut (laysa minal qurbah). Namun, apapun, paling tidak yang bisa dipastikan dari sunnah fi’liyah yang bangun sendiri ialah ia bukanlah satu kewajiban agama. Satu kaedah menerangkan: “mujarradu al-fi’li la yufidu al-wujub” (perbuatan nabi saja tidak mengindikasikan wajibnya perbuatan tersebut).

Berhubung artikel yang kami sajikan terlalu panjang maka Silahkan baca lanjutan artikel ini di Bagian 2

Bagian 2 : 10 Hadits Palsu Seputar Ramadhan Bagian 2
Tag : Menarik
0 Komentar untuk "10 Hadits Palsu Seputar Bulan Ramadhan Bab 1"

Back To Top