10 Hadits Palsu Seputar Bulan Ramadhan Bab 2

hadis-hadis dhaif seputar ramadhan yang telah kami posting sebelumnya. Silahkan baca Bagian 1 terlebih dahulu untuk lebih memahami maksud dari artikel ini.

 Berikut ini ialah lanjutan dari info wacana 10 Hadits Palsu Seputar Bulan Ramadhan Bagian 2

Hadits Palsu Seputar Bulan Ramadhan

5. Tidur Berpahala di Bulan Ramadan

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفِى قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَوْمُ الصَائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bul Iman (vol. III, no. 3937), Abu Nuaim dalam al-Hilliyah (vol. V, no. 646) dan al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dari jalur Sulaiman bin Amru dari Abdul Malik dari Abdullah bin Abi Aufa dari Nabi Saw. Kritikus hadis ibarat al-Iraqi dalam Takhrij Hadis Kitab Ihya karya al-Ghazali menyatakan bahwa Sulaiman bin Amru ialah pendusta (kadzzab).

Begitu pula dengan evaluasi Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan (vol. I, hal. 458) terhadapnya. Sedangkan Abdul Malik, Imam Ahmad menilainya lemah hafalan sehingga sering tertukar hafalannya (mudtharibul hadis). Abu Hatim al-Razi dalam al-Jarhu wa al-Ta’dilu (vol. 1, hal. 70) menilai Abdul Malik tidak mempunyai hafalan (lam yushaf bil hifzhi). Nashiruddin Albani dalam al-Silsilah al-Dha’ifah (vol. 10, hal. 198) dan Shahih wa Dha’if al-Jami’ al-Shaghir (vol. 26, hal. 384) juga menilai hadis ini dha’if.

Beberapa pihak memegang teguh dan menganggap sahih hadis ini. Sehingga pada siang hari di bulan Ramadhan aktifitas yang mereka pilih hanyalah beristirahat atau tidur saja. Padahal jikalau ditimbang, hadis ini bertentangan dengan semangat Islam yang mengajarkan biar puasa tidak dijadikan penghalang untuk tetap produktif beraktifitas.

Di dalam Sirah Nabawiyah contohnya kita menemukan sejumlah tragedi penting yang berlangsung di bulan Ramadhan, ibarat Perang Badar, Fathu Makkah dan Perang Tabuk (Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum). Di samping itu, tentu daripada digunakan untuk tidur, waktu siang di bulan bulan pahala akan lebih bermanfaat jikalau digunakan untuk beribadah lainnya, ibarat tilawah al-Quran dan membaca buku-buku keagamaan yang bermanfaat.

6. Puasa Menyehatkan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْزُوا تَغْنَمُوا وَصُومُوا تَصِحُّوا وَسَافِرُوا تَسْتَغْنُوا

“Dari Abu Hurairah, ia berkata. Rasulullah Saw. bersabda: berperanglah kamu, pasti kau akan mendapat harta rampasan perang. Berpuasalah kamu, pasti kau akan sehat. Dan berpergianlah kamu, pasti kau akan menjadi kaya”

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Awsath (no 8312) dan Abu Nu’aim dalam al-Tib al-Nabawi (no. 113). Jalur periwayatan hadis ini ialah dari Muhammad bin Sulaiman dari Zuhair bin Muhammad dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Al-Iraqi dalam Takhrij Hadis Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali (vol. IV, hal. 135) , Ibnu Adi dalam al-Kamil (vol. VII, hal. 57) menilai hadis ini dha’if alasannya ialah terdapat sosok Muhammad bin Sulaiman dan Zuhair bin Muhammad. Begitu pula dengan evaluasi Nashiruddin Albani dalam al-Silsilah al-Dha’ifah (vol. I, hal. 330). Hadis ini mempunyai dua syahid (koroborator) yang keduanya berstatus dha’if jiddan (lemah sekali) sehingga tidak sanggup menaikkan hadis ini menjadi hasan.

Hadis ini barangkali ialah hadis dha’if yang paling sering muncul di bulan Ramadan. Bisa jadi, sesungguhnya niat orang yang memberikan hadis ini baik, yaitu untuk mengabarkan pesan tersirat berpuasa yang sanggup menyehatkan badan. Namun sayang sekali, di dalam agama Islam, kita diajarkan untuk dihentikan menyandarkan sesuatu yang tidak berasal dari nabi kepada beliau, sekalipun hal itu merupakan perbuatan baik dan terbukti benar secara empirik.

Tidak tanggung-tanggung, bahaya berbohong atas nama nabi ialah neraka. “Man kadzzaba ‘alayya muta’ammidan fal yatabawwa maq’adahu minan nar” (barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendakalah ia menyiapkan kawasan duduknya kelak di hari simpulan dari neraka) (HR. Bukhari-Muslim). Akan lebih kondusif jikalau ingin berbicara wacana kesehatan alasannya ialah puasa, para muballigh menisbahkannnya pribadi kepada penelitian-penelitian ilmiah di bidang kedokteran.

7. Harapan biar bulan pahala Setahun Penuh

عَنِ اْبنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُوْلُ وَقَدْ أَهَلَّ رَمَضَانُ : لَوْ يَعْلَمِ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ ، لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانَ السَنَّةَ كُلَّهَا

“Dari Ibnu Mas’ud, bersama-sama ia mendengar Nabi Saw. bersabda saat bulan pahala tiba: Jika saja hamba-hamba (Allah) mengetahui (keutamaan) yang terdapat di bulan Ramadan, maka pasti umatku pasti berharap biar bulan pahala berlangsung selama setahun”

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (vol. I, no. 1032), Ibnu Khuzaimah dalam Sahih-nya (vol. III, no. 1886), Ibnu Hajar al-Haitsami dalam Majma’u al-Zawaid (vol. III, no. 4781), al-Suyuthi dalam Jami’ul Hadits (vol. XIIX, no. 19146), al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3634), Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (vol. II, no. 1119).

Status ke-dhaif-an hadis ini sudah tingkat tinggi, yaitu maudhu’ (palsu). Sosok yang bermasalah dari rantaian sanad-nya ialah Jarir bin Ayyub yang dinilai munkarul hadis dan matrukul hadis (Bukhari, al-Dhu’afa al-Shaghir, vol. I, hal. 29). Al-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (vol. I, hal, 391) menilainya masyuhurun bi al-dha’fi (terkenal ke-dha’if -annya). Begitu pula dengan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Lisanul Mizan (vol. I, hal. 247).

8. Salat Tarawih 20 Rakaat

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِى شَهْرِ رَمَضَانَ فِى غَيْرِ جَمَاعَةٍ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: ialah Rasulullah Saw. salat (lail) di bulan bulan pahala tanpa berjamaah sebanyak dua puluh rakaat beserta witir”

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Awsath, Ibnu Adi dalam al-Kamil, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra. Semua riwayat dalam kitab-kitab tersebut melalui jalur Ibrahim bin Utsman dari Hikam dari Muqassam dari Ibnu Abbas. Menurut kritikus Ibnu Hajar al-Asqalani (Lisanul Mizan, vol. 3, hal. 164), Ibrahim bin Utsman ialah orang yang dha’if.

Abu Hatim menilainya dalam al-Jarhu wa al-Ta’dilu (vol. I, hal. 132) sebagai tokoh yang hadisnya tidak perlu dicatat (la taktubanna ‘anhu syaian). Al-Haitsami dalam Majma’ud Zawaid (vol. II, hal. 120), al-Suyuthi dalam al-Laali al-Mashnu’ah (vol. II, hal 170) menilainya matruk (tidak terpakai). Hadis ini oleh Nashiruddin Albani dalam Irwaul Ghalil (vol. II, hal. 191) dan Shalatu al-Tarawih (hal. 22) telah divonis sebagai hadis palsu (maudhu’) dan lemas sekali (dha’if jiddan).

Selain itu, secara matan, hadis ini bertentang dengan isu yang dibawah oleh hadis sahih lain yang pertanda bahwa Rasulullah melaksanakan salat lail (tarawih) tidak lebih dari sebelas rakaat di bulan Ramadan. Hadis ini diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah Ra. Ibnu Hajar juga menyatakan (Fathul Bari, vol. 6, hal. 295) bahwa Aisyiah Ra. lebih kredibel untuk melaporkan aktifitas Rasulullah Saw. di malam hari dibandingkan Ibnu Abbas.

Ini tidak berarti bahwa Ibnu Abbas tidak tahu sama sekali wacana kondisi salat lail Rasulullah, namun ini justru memberikan bahwa sesungguhnya nama Ibnu Abbas telah ‘dibajak’ oleh seorang pendusta untuk mengesahkan hadis palsunya. Hadis sahih wacana salat lail Rasulullah di bulan bulan pahala adalah:

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Tidaklah Rasulullah Saw. menambahkan (salat lailnya) di bulan bulan pahala dan di bulan selain bulan pahala lebih dari 11 rakaat”. (HR Bukhari dan Muslim).

9. Bulan bulan pahala ialah Pemimpin Bulan-bulan Lainnya

سَيِّدُ الشُهُوْرِ شَهْرُ رَمَضَانَ ، وَ سَيِّدُ الْأَيَّامِ يَوْمُ الْجُمْعَةِ

“Pemimpin para bulan ialah bulan Ramadan, dan pemimpin para hari ialah hari Jum’at”

Hadis ini ialah hadits mauquf (yaitu riwayatnya tidak hingga ke Rasulullah, melainkan hanya hingga kepada sahabat saja). Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab Fadhailu Ramadhan (keutamaan-keutamaan Ramadan), no. 33, dari jalur Ayyub bin Jabir dari Abu Ishaq dari Hubairah dari Ibnu Masud. Sosok yang dinilai lemah dari sanad hadis ini ialah Ayyub bin Jarir sendiri. Komentar Yahya bin Main, al-Nasai dan Abu Hatim (Mizanul I’tidal, vol. I, hal. 285), ia ialah orang yang lemah. Ibnu Hibban dalam al-Majruhin (vol. II, hal. 5) menilai Ayyub “lasya bi syai” (tidak dihitung sama sekali).

10. Pahala I’tikaf ibarat Pahala Umrah dan Haji

رُوِيَ عَنْ عَلِي بْنِ حُسَيْنٍ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ اِعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كُحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ

“Diriwayatkan dari Ali bin Husain dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhum, ia berkata. Rasulullah Saw. bersabda: barang siapa yang beri’tikaf pada sepuluh hari di bulan Ramadan, maka (pahalanya) ibarat haji dua kali dan umrah dua kali”

Hadis ini diriwayatkan oleh Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (vol. III, no. 2888) dan al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3966, 3967). Salah seorang perawi dalam sanad hadis ini yaitu Muhammad bin Zadzan ialah orang yang hadisnya tidak digunakan (matruk) (Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisanul Mizan, vol. II, hal 397). Al-Bukhari dalam al-Dhu’afa al-Shaghir (hal. 104) menilainya munkarul hadits.

Ibnu Hibban bahkan dalam al-Majruhin (vol. II, hal. 178) menilainya sebagai sosok yang rajin menciptakan hadis-hadis palsu (shahibu asya maudhu’a) yang tidak sanggup dijadikan pegangan (la yahillu al-ihtijaj bihi). Oleh Nashiruddin al-Albani dalam al-Silsilah al-Dlaifah (vol. 2, hal. 95) hadis ini telah dinyatakan sebagai hadis yang maudhu’ (palsu).

I’tikaf sendiri sesungguhnya ialah sunnah Rasulullah yang selalu dia lakukan di setiap sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Bahkan di tahun wafatnya, dia melaksanakan i’tikaf lebih panjang, yaitu selama 20 hari. Hadis-hadis sahih wacana pelaksanaan i’tikaf nabi, beserta i’tikaf sahabat dan istri-istri dia sangat banyak.

Namun, ibarat dikatakan oleh Imam Ahmad, tidak ada satu pun hadis sahih yang pertanda keutamaan i’tikaf (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, vol. I, hal. 475). Sehingga terang keterangan yang dibawa hadis di atas ialah sesuatu yang mengada-ada, sangat berlebih-lebihan dan merupakan kebohongan yang dinisbahkan kepada Rasulullah Saw. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Nah ibarat itulah info menarik seputar bulan ramadhan yang Berbagi 10 sempat sampaikan. info ini dikutip diberbagai sumber tentunya. Semoga artikel ini sanggup membantu pembaca setia Berbagi 10. Jangan lewatkan update artikel menarik setiap hari. Sekian dan terima kasih.(Fortune's)

Lihat juga: 10 Hal Keliru Saat Menyambut Bulan Ramadhan
Tag : Menarik
0 Komentar untuk "10 Hadits Palsu Seputar Bulan Ramadhan Bab 2"

Back To Top